12. Tumpeng Robyong

Tumpeng Robyong pada upacara Wiwit, oil n canvas 200 x 150 cm herjaka HS 2010, koleksi Dokter Kondang Usodo.

12. Tumpeng Robyong Selapanan

Pada usia 35 hari diadakan upacara selapanan dengan tujuan untuk mengabarkan serta mengenalkan nama dari si Bayi kepada para kerabat dan tetangga sekaligus memohon doa agar si bayi selalu sehat selamat terhindar dari segala mara bahaya.

Upacara selapan dilengkapi dengan beberapa ubarampe yaitu tumpeng robyong dan jenang among-among.

Tumpeng Robyong adalah manifestasi dari pengadukan samodra yang dilakukan oleh para dewa, dalam upaya mencari tirtaamerta, air hidup abadi. Dikarenakan tirtaamerta berada di dasar samodera, maka untuk mengambilnya laut perlu diaduk, agar naik ke permukaan. Maka kemudian para dewa mbedol gunung mandara dan memasukkannya di dalam samodera mantana. Gunung mandara diwujudkan berupa nasi putih dibentuk kerucut. Samodera mantana diwujudkan dengan gudangan yang mengelilingi tumpeng. Api yang keluar dari kawah gunung mandara diwujudkan dengan cabai merah yang diletakkan di paling atas tumpeng. Naga Basuki yang melilit gunung untuk mengaduk samodra diwujudkan dengan kacang  panjang.

Saat Naga Basuki mulai memutar gunung mandara pengadukan samodera pun berlangsung. Seluruh isi laut bercampur dan terangkat ke permukaan. Bersamaan dengan itu menyembul pula racun berwarna ungu yang mematikan, kalakutha namanya. Para dewa mengira bahwa kalakutha adalah tirta amerta dan ingin segera meminumya. Mengetahui para dewa dalam bahaya, Batara Guru dengan cepat menyambar racun tersebut dengan mulutnya. para dewa selamat dari racun yang mematikan. Namun akibatnya racun yang ditelan masuk membuat leher Batara Guru berwarna nila. Sejak saat itu Batara Guru diberi sebutan Sang Hyang Nilakantha. Racun kalakutha diwujudkan bawang merah dan diletakan di bawah lombok merah. Setelah racun diamankan, para dewa melajutkan pengadukan sampai kedasar samodra hingga dasar samodera yang berupa lendhut blegedapa atau lumpur muncul ke permukaan, dan diwujudkan dengan terasi, letaknya di bawah bawang merah. Terangkatnya lumpur dasar laut mengawali munculnya tirta amerta yang diwujudkan dengan telur di atas tumpeg di bawah terasi. Dengan keluarnya tirta amerta, pengadukan samodera pun selesai. Dengan sukacita para dewa meminum bersama-sama untuk menuju hidup abadi yang tak akan mati selamanya.

Jenang Among-among terdiri dari 4 macam jenang atau bubur, yaitu:

  1. Jenang putih, menggambarkan sperma warna putih yang merupakan benihnya Bapak.
  2. Jenang abang atau merah, menggambarkan indung telur yang merupakan benih atau wadahnya Ibu.
  3. Jenang slewah, separo mereah dan separo putih, menggambarkan benihnya Bapak dan benihnya Ibu bertemu.
  4. Jenang Baro-baro yaitu jenang putih sebagai dasar ditaburi parutan kelapa putih dan sisiran gula jawa merah, untuk menggambarkan bahwa saat  benihnya Bapak dan benihnya Ibu bercampur maka terjadilah embrio kehidupan. Dan Allah meniupkan RohNya untuk bersemayam dalam diri si Bayi.

Ubarampe Tumpeng Robyong dan Jenang among-among diberi makna demikian, setelah bapak ibu dipercaya dan diajak bekerjasama dengan Allah maka lahirlah  seorang bayi. Di dalam  diri bayi yang lemah itu bersemayam Roh Allah. Agar si bayi yang raganya lemah dan jiwanya rapuh mampu menghidupi Roh Allah yang agung, kudus, kekal dan abadi, perlu pendampingan orang tua. Dalam mendampingi anak yang adalah gadhuhane Pangeran (titipan Tuhan) oranga tua wajib bekerja sama dengan Allah si Empunya kehidupan dan keabadian agar si bayi tumbuh sehat, dewasa dan mampu menghidupi Roh Allah dalam hidupnya, dengan demikian pada saatnya nanti si bayi dapat kembali kepangkuan Sang Kehidupan Abadi. (herjaka HS)

No Comments

    Leave a Reply