Pengantar Kuratorial Romo Sindhunata Merebut kembali alam dari kuasa kegelapan Titik keberangkatan seni rupa Herjaka adalah figur-figur wayang kulit. Dalam perjalanan seninya, ia terus berupaya untuk memvisualkan figur-figur itu dalam bentuk-bentuk yang realis, sambil tetap mempertahankan rupa wayang dalam bentuknya yang klasik. Upayanya ini dibarengi pula dengan menggarap kisah-kisah wayang, dan menampilkannya dalam sajian interpretatif yang kiranya relevan untuk zaman ini. Dengan begitu, Herjaka kiranya adalah perupa yang mencoba memadukan apa yang klasik dan apa yang modern. Dan perpaduan itu ternyata tidak meleburkan wayang jadi bentuknya yang modern, malah sebaliknya membuat kemodernan bisa diserap dalam wayang, hingga wayang memperoleh bentuk yang bisa relevan dan bisa dinikmati di zaman modern. Dalam pameran kali ini, Herjaka menyajikan tema lingkungan hidup. Tentu, pilihan tema ini tepat untuk saat ini. Tidakkah kini orang-orang di belahan dunia mana pun sedang prihatin akan masalah lingkungan hidup? Kerusakan lingkungan terjadi di berbagai belahan bumi. Masalah lingkungan akhirnya merembet menjadi masalah keadilan sosial, karena eksploatasi keserakahan modal. Rusaknya lingkungan berakibat makin dimiskinkannya kaum yang sudah miskin dan tak berdaya. Alam sedang menjerit, agar manusia mendengarkan penderitaan dan kerusakan yang diakibatkan oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Tema lingkungan ini juga tetap sebagai tema untuk memperingati 25 tahun lahirnya Reformasi, yang tepat terjadi di bulan Mei 2023 ini. Reformasi bercita-cita untuk membangun manusia baru dengan watak baru pula. Manusia demikian kiranya adalah insan yang harus peduli akan lingkungannya, agar generasi mendatang tidak harus menanggung kesengsaraan, yang diakibatkan oleh keserakahan manusia zaman sekarang. Tapi nyatanya di zaman reformasi ini, kerusakan lingkungan juga terus bertambah atau malah diperparah. Herjaka tidak keliru, bila ia mengangkat tema lingkungan dengan berangkat dari wayang. Sebab wayang sendiri sesungguhnya memuat banyak sekali visi dan kebijakan tentang linkungan. Visi itu dengan paling jelas dirangkumkan dalam karya rupa yang paling essensial dalam wayang, yakni Gunungan. Gunungan adalah simbol keharmonisan kosmos. Di sana digambarkan bagaimana ciptaan, manusia dan keilahian menyatu secara harmonis dan tak terpisahkan. Setiap pertunjukan selalu menyertakan Gunungan. Gunungan juga menjadi penyela adegan-adegan. Ini adalah tanda, bahwa kisah hidup manusia tak boleh terlepas dari keharmonisan kosmos itu. Juga dalam janturan, yang membuka pertunjukan wayang, tema lingkungan itu terasa dengan sangat kental. Dalang bernarasi tentang negara yang ideal. Negara itu adil makmur, tata raharja, karena lingkungan juga terjaga dengan baik. Binatang-binatang dilepas, semuanya subur ijo royo-royo. Semua ini sesungguhnya adalah utopi tentang lingkungan yang ideal. Suasana di atas kiranya sangat menjiwai karya Herjaka kali ini. Pertama-tama, menarik untuk memperhatikan karya Herjaka yang berupa komik. Sasaran komiknya adalah anak-anak. Kiranya ini tepat, karena kecintaan akan lingkungan harus diperkenalkan sedini mungkin. Ideal, bila sejak masa kecilnya, anak-anak sudah diajak untuk berprihatin dengan lingkungannya. Memang, lingkungan itu mau tidak mau harus menjadi bagian pokok dari pendidikan. Tanpa dibiasakan lewat pendidikan, sulit bagi manusia untuk tiba-tiba tahu dan prihatin tentang lingkungan. Komik Herjaka ini adalah salah satu sarana dari pendidikan lingkungan tersebut. Bagian komiknya yang pertama mengajak anak-anak untuk mengenal suasana padepokan Arga Sekar. Di sana pemandangan alam sangatlah indah. Sawah-sawah menghijau, dan air mengalir jernih. Namun ini semua tak terlepas dari sikap penghuni padepokan tersebut. Manusia-manusia di sana kelihatan rajin dan amat mencintai lingkungannya. Diperlihatkan, bagaimana mereka membagi tugas untuk merawat sungai, sawah, pepohonan dan sebagainya. Tampak bahwa lingkungan yang baik akan memberikan kebahagiaan bagi manusianya juga. Dan manusianya pun tertular oleh kebaikan lingkungannya, menjadi insan yang mau saling tolong menolong. Bagian komiknya yang kedua memberi kisah pada anak-anaknya tentang figur wayang bernama Sukrosono. Sukrosono berwajah buruk, tapi berhati mulia. Kemuliaan hatinya ditunjukkan dengan sikapnya terhadap lingkungan. Ia menyatu dengan alam sekitarnya. Bahkan ia bisa bermain-main dengan binatang buas. Ia juga mengajak orang-orang untuk memelihara lingkungannya. Karena cintanya yang demikian besar pada lingkungan, ia dicintai Batara Wisnu, dewa pemelihara lingkungan. Sampai ia diperkenankan untuk berada di Taman Sriwedari, menikmati keindahan dan kekayaan lingkungan alam dewata. Sayangnya, pribadi demikian ini justru disingkiri oleh kakaknya sendiri, Sumantri. Sumantri merasa malu mempunyai adik yang buruk rupanya itu. Maka ia menyiakan-nyiakan Sukrosono. Ini kiranya menjadi simbolik: orang yang begitu mencintai lingkungannya akan tersingkir di tengah manusia yang mengejar ambisinya dan hanya ingat akan egoismenya sendiri. Kiranya komik ini bisa berguna untuk mendidik anak-anak untuk berkorban diri seperti seorang Sukrosono. Dengan pamerannya kali ini, Herjaka juga menyajikan lukisan-lukisan yang bisa menjadi refleksi tentang masalah lingkungan. Misalnya ia mengambil kisah wayang tentang keserakahan ratu tanah sabrang dan mengaitkannya dengan masalah kerusakan lingkungan akibat penanaman kelapa sawit. Hutan dibabat dan dirusak untuk usaha sawit. Semuanya hasilnya diangkut ke seberang. Sementara penduduk-penduduk setempat mengacung-acungkan jerigen minyaknya yang kosong. Mereka hanya bisa melongo, melihat bagaimana keserakahan itu menyerobot dan mengangkut semuanya, dan meninggalkan mereka dalam kekurangannya. Menarik juga untuk memperhatikan bagaimana Herjaka menggambarkan kelahiran Wisanggeni. Dilukiskan dengan indah, bagaimana sejak kelahirannya, manusia sesungguhnya adalah bagian dari alam, dan termasuk dalam alam. Keliaran alam jadi tidak menakutkan. Malah ia bersahabat dengan manusia. Gambar ini bisa mengajak kita membayangkan, alam pun sesungguhnya bisa kita manusiawikan, bila kita mencintainya. Kita juga bisa menikmati figur Petruk, sebagai Mbah Petruk, salah satu penguasa Gunung Merapi. Ia berada di atas kawah, yang memuntahkan laharnya. Semuanya merah menyala, seperti api. Kelihatannya, semuanya akan rusak oleh amarah lahar itu. Tapi itu hanyalah sementara. Setelah ia semuanya akan menghijau dan menjadi lebih subur, karena terpaan lahar. Belum lagi, pasir akan berlimpah di sungai-sungai aliran lahar. Itulah misteri alam. Sepintas kelihatan dahsyat, dan mungkin merusak, tapi kemudian berubah menjadi indah, hijau, subur dan sejahtera. Maklum, Gunung Merapi bukan sekadar vulkan, tapi kehidupan, di mana ada Mbah Petruk. Mbah Petruk ini pengayom manusia, tak mungkin ia menelantarkannya, walau pun ia juga harus menjaga Gunung Merapi, yang dalam waktu tertentu harus bekerja dan memuntahkan laharnya. Siklus ini adalah misteri alam, yang hanya bisa kita terima dan syukuri. Masih beberapa lagi lukisan Herjaka yang bisa mengajak kita untuk melakukan refleksi terhadap lingkungan dan alam. Berdasarkan lukisan-lukisannya kita mungkin boleh merenungkan bahwa dunia ini sesungguhnya baik, dan diciptakan dengan baik pula. Asal-usul dunia ini bukanlah kegelapan, apalagi kejahatan yang dikuasai setan. Dunia, alam, semesta dan lingkungannya ini diciptakan oleh cinta Tuhan, seperti dikatakan oleh teolog Wolfgang Huber: Dunia ini tidak direbut dari setan, seakan dunia ini berasal dari setan dan kegelapan. Pencipta dunia ini adalah Tuhan. Dan sejak semula dunia memang diciptakan oleh Tuhan dengan maksud-Nya yang baik, demi kebahagiaan pribadi masing-masing manusia, dan kebahagiaan semesta. Kalau alam semesta ini tidak berasal dari setan, janganlah kita menyerahkan kepada setan. Sayangnya, justru itulah yang sering kita buat: kita menyerahkan lingkungan hidup kita pada setan keserakahan, setan pencemaran dan setan kerusakan. Jelas kita harus merebut kembali semesta ini dari kekuasaan setan-setan itu. Karya-karya Herjaka kiranya bisa mengajak kita untuk merefleksikan kembali tugas dan kewajiban itu. Sindhunata
No Comments