Bumi Sriwedari

pameran tunggal karya lukis Herjaka HS,

3 – 9 Mei 2023 di Bentara Budaya Jogjakarta buka 10.00 – 21.00


PENGANTAR KURATORIAL 
KAREN HARDINI

BUMI SRIWEDARI
“Wahana Ing Yang Herjaka HS”

“...Makin baik tanaman dirawat, makin baik pula hasil yang akan diunduh.
Tidak seperti pohon pisang ini. Mengapa tidak berbuah?
Mungkin ada kesalahan saat menanam dan merawat.
Bukankah pohon pisang itu satu kali berbuah setelah itu mati?
Sungguh kasihan jika tidak berbuah, hidupnya menjadi sia-sia”.
(Herjaka, Komik “Buruk Muka Hati Mulia”, hlm 7, 2023)


Petrus Herjaka atau Herjaka HS dalam pameran tunggalnya kali ini hadir dengan judul “Bumi Sriwedari”. Bumi sebagai tempat umat manusia berada dan saling berinteraksi memberi dampak satu dengan yang lain. Sedangkan Sri dalam bahasa Jawi berarti sinar cahaya yang indah permai, sementara Wedari berarti digelar atau diwujudkan. Bumi Sriwedari berarti suatu usaha dalam mewujudkan taman yang indah permai  dan bercahaya di bumi. Perwujudan taman yang indah ini menjadi satu jangkar bagi Herjaka menyoroti apakah bumi kita sedang baik-baik saja? Bumi dengan populasi manusia yang semakin besar, pergerakan yang massif dan sistemik, cuaca yang tidak menentu, adanya hubungan manusia dengan alam  juga menandai gap yang makin lebar, hingga terjadinya banyak bencana alam akibat perbuatan manusia sendiri. Ibarat manusia, bumi telah berada pada usia yang tua dan renta, terhuyut-huyut dalam penyakit yang kronis. 
Kita akrab dengan konotasi bumi sebagai ibu.  Sebagai seorang ibu, ia berjender dan melahirkan bayi-bayinya, menyusui, mengasuh, dan menyerahkan segala kasih kepada anak-anaknya. Namun angkara murka terjadi manakala seorang anak durhaka kepada ibunya, ibu bumi dihianati, tubuhnya sudah tidak seimbang dan kesuburannya terganggu. Kita dapat menandai beberapa periode di mana bumi kehilangan kesetimbangannya dan terjadi perceraian antara laku, bahasa dan rasa yang terlalu menitikberatkan pada kepentingan manusia. Sehingga beratus-ratus tahun alam tidak mendapatkan hak-nya. Polusi yang diakibatkan dari kebijakan pembangunan revolusi industri misalnya, di saat yang sama transformasi pada antroposen yang terus-menerus, padanya alam digali dengan modus eksploitatif. 
Menarik ke belakang, sistem kolonialisasi barangkali menjadi penanda di mana sistem kontingental Eropa dibawa ke seluruh dunia; cara, Bahasa, metode, cara menampilkan yang ke-barat-baratan kemudian dilawan dengan beragam cara. Pekarangan hilang sejak revolusi hijau 1980-an yang sarat perubahan, sebut saja cara bercocok tanam dari tradisional menjadi modern. Hal tersebut mengerucutkan tanda adanya perceraian antara praktik dan pengetahuan. Dari sana maka banyak proses yang lahir dari rahim kapitalisme, dan tumbuh seiring dengan tumbuhnya kapitalisme. 

Periode tersebut juga dapat dilihat bagaimana fenomena dalam gejala chaos-nya dinamika manusia yang saling membunuh, terjadinya degradasi kesadaran pada manusia terhadap alam, hingga penghianatan terjadi atas ambisi dan rasa tamak pada diri dan hati manusia. Fenomena seperti banjir, kebakaran hutan, radikalisme, deforestasi, kapitalisme, industrialisasi, distrupsi urban, polarisasi budaya dan agama, mengakibatkan krisis ekologi, kepercayaan, dan tercerainya konektivitas antara manusia dan alam. Hal tersebut juga dapat menjadi penanda bagaimana dinamika itu terus bergulir hingga saat ini, sekalipun masa telah bergulir, reformasi telah mencapai usia 25 tahun. Maka melalui karya-karya yang terhampar di dalam galeri ini, spektrumnya luas, bagaimana itu hadir di ruang kerja dan ruang-ruang yang lain – pada ranah profan dan sakral lukisan wayang Herjaka.
***
Pada pameran kali ini, Herjaka menyodorkan 15 karya lukis pada kanvas, 12 karya lukis pada kertas, dan karya arsip. Pada dasarnya pameran ini menampilkan karya baru yang digarap selama masa pandemi 2019-2023, karya lama yang belum sempat dipamerkan dan tersimpan di galeri dalam kurun waktu menahun, beberapa potongan adegan pada komik-komik dan novel ciptaan Herjaka sejak tahun 1995 -2015 sebagai karya berbasis arsip, dan potongan ilustasi dari 2 buku komik terbaru yang diluncurkan bersamaan dengan pameran ini berjudul “Buruk Muka Hati Mulia”. 
Melalui pameran “Bumi Sriwedari” menjadi harapan dan refleksi dari bentuk peringatan kepada manusia atas krisis kerusakan alam di bumi ini yang semakin tua, pada impian bumi yang indah layaknya taman jika manusia merawatnya dengan kesadaran yang baik. Herjaka terus konsisten membicarakan kehidupan dan pergerakannya dalam konteks wayang. 
Dramaturgi Visual Herjaka HS
Karya-karya Herjaka pada dasarnya adalah dibangun pada cara pandang dan impresi atas pembacaan dari dokumen, oral, histori, dan mitos yang Herjaka yakini. Melihat pencapaian produktivitas pengkaryaan, wayang telah menjadi gagasan yang paling fundamental dalam proses kreatif Herjaka HS. Karya-karya Herjaka menimbulkan unsur tarik-menarik antara ikatan ‘tradisi pakem’ dan ‘kebebasan berekspresi’, menawarkan makna yang bergerak dalam wilayah mitos sebagai pokok pikiran Herjaka. Karya lukis Herjaka memadupadankan bentuk wayang klasik dengan gaya realistik tubuh manusia, yang dimatangkan dengan dinamis pada proses stilasi (penggayaan) pada bentuk figur wayang sebagai upaya kreatifnya. Ia setia dalam penggunaan medium kanvas dan dan kertas sebagai senjata artistik.
Keresahan dan Harapan pada Bumi Sriwedari yang cantik dan damai disodorkan Herjaka dalam karya-karyanya yang berbau ekologis dan kosmologis yang tajam. Seperti dalam Karya berjudul Wiji Dadi yaitu penggambaran janin sebagai cikal bakal manusia tercipta menjadi satu visual Herjaka yang sangat intim dan kosmologis. Janin ini merupakan perwujudan dari Sukrasana yang sakti namun buruk muka. Sementara pada Seratus Bayi, Herjaka hendak menggambarkan bagaimana kisah Dewi Gendari yang melahirkan seratus bayi yang dilahirkan sebagai manusia yang sarat akan keserahan, dendam, dan kebencian. Sifat itu yang ada dalam urat nadi manusia. Manusia tercipta dari benih orang tua yang suci, dirawat dengan cinta kasih sebagai usaha memelihara generasi yang senantiasa memerangi angkara murka, jujur, dan berbudi baik, justru kerap terjadi sebaliknya. Seperti pada lukisan Togog PHP, tokoh Togog yang dikisahkan sosok yang lahir sebelum Semar tidak mampu mengayomi bumi, jahat, dan tidak dapat dipercaya, layaknya oknum dan para kawanan koruptor yang menjarah demi keuntungan pribadi, dengan sengaja digambarkan oleh Herjaka untuk merespons fenomena kelangkaan minyak di daerah-daerah lumbung kelapa sawit seperti yang terjadi di Riau, dan Kalimantan, atau daerah lain saat ini. 
Sementara Kawruh Bedja, sebagai salah satu ajaran filsuf Jawa sekaligus tokoh dan guru yang diyakini Herjaka yaitu Ki Ageng Suryomentaram. Filososfi Kawruh Bedja dalam konsep kehidupan yang dapat dicapai melalui proses mengalami, dan memahami atas makna kehidupan untuk mencapai kebahagiaan. Melalui karya ini, Herjaka mencoba melihat kesadaran manusia yang semakin tamak, dan merampas hak alam secara massif. Padanya sarkasme coba Herjaka tuangkan dalam visual fenomena banjir yang banyak terjadi di berbagai daerah di Nusantara. Tampak genangan air dan rumah-rumah yang terendam, juga anak-anak yang menunggangi hewan kerbau sebagai suka cita di atas bencana alam yang diakibatkan oleh perbuatan manusia sendiri. Begitu juga dengan Sawahnya di mana Pak, jadi gambaran sebab-akibat dari perlakukan manusia  terhadap alam yang menjadi persoalan yang hakiki dan terus berulang. Dua penggambaran bapak dan anak yang sengaja divisualkan di bagain kiri, dengan background coklat lapang menandakan tanah yang gersang. Kehilangan sawah akibat jarak yang lebar dari kesadaran merawat ekosistem biodiversitas tanah sebagai sumber kehidupan masyarakat agraris dan pedesaan. Darinya proses urbanisasi menggerus potensi-potensi alam yang asri atas nama kapitasime terbaca pada karya ini.
Kisah romantik atas pengorbanan-keberanian-cinta kasih lekat pada visual lukisan Semesta Berduka. Dua tokoh ibu yang memangku sang anak yang gugur di medan perang dalam melindungi bumi, diceritakan melalui tokoh Sembadra dan Abimanyu yang berpose di atas stupa, yang dikelilingi oleh prajurit dan bumi sebagai saksi. Herjaka mengartikulasikan aksi Sembadra yang memangku Abimanyu dalam kejadian yang perlu direnungi atas remuknya alam yang tergerus dari ketamakkan.
Pada Berkah Kyai Petruk, dari karya ini hadir suatu nilai kesuburan dari apa yang diberikan oleh alam dalam perwujudan Kyai Petruk yang senantiasa terus memberi berkah kepada manusia dan alam semesta lewat material yang menyuburkan tanaman, dan membuat kehidupan terus berjalan. Sedangkan Urip Iku Urut, kesadaran kosmologis kematian diujarkan Herjaka lewat tokoh wayang Drupadi, Sadewa, Nakula, Herjuna, Wrekudara, Puntadewa yang melakukan perjalanan terakhir menuju puncak kesucian Bersama dengan anjing kesayangannya. Secara berurutan, satu persatu mereka jatuh dan memasuki alam abadi. Lukisan ini terkesan sangat spiritualistik, hal itu ditampakan dalam komposisi visual yang menyodorkan dua bagian yang kontras yaitu satu di dunia dengan kehidupan yang dapat dibayangkan dengan logika berpikir manusia yaitu alam barzakh sebelum memasuki surga atua neraga dalam keabadian. 
Pilihan tema, narasi, tokoh, dan kepiawaiannya terhadap seni lukis wayang kerap dihadirkan dengan visualisasi yang dekat dengan narasi sosial, religiusitas dan ekologis. Herjaka mencipakan karya lukisan wayang tak lain adalah hasil pembacaan dan penafsiran ulangnya pada figur dan bentuk wayang purwo, kadangkala menggunakan wayang beber. Melalui seni lukisnya, Herjaka sejatinya hendak menggugat dengan halus, memaknai transformasi  yang terjadi dari perubahan alam yang semakin memunculkan efek akibat perbuatan manusia ¬¬– memandang kultur masyarakat agraris Jawa di masa sekarang dan merefleksikannya pada penafsiran ulang tentang “Bumi Sriwedari” yang indah dan damai pada satu tarikan nafas.
Komik Kepahlawanan
Barangkali tidak diragukan lagi bahwa lukisan, ilustrasi, tulisan menjadi satu kesatuan yang utuh dalam praktik berkarya Herjaka HS. Sejak tahun 1979 Herjaka telah memulai menekuni dunia buku dan penerbitan baik sebagai editor, maupun illustrator di majalah Djaka Lodang dan Jayabaya. Sebagai penulis dan ilustrator buku, Herjaka telah menghasilkan sebanyak 11 karya novel dan komik seri berbasis cerita pewayangan Mahabarata. Komik-komik tersebut disajikan dalam ruang pamer sebagai sajian arsip. 
Menjadi menarik melihat praktik artistik Herjaka membawa saya mengingat pada Jean Toorop, pelukis keturunan Belanda yang lahir di Purworejo pada tahun 1880-an. Sebagai pelukis, Toorop mengembangkan gaya simbolisnya yang unik dengan garis yang dinamis dan tak terkirakan berdasarkan pada motif Jawa dan wayang, ia akrab dengan permainan garis serupa digunakan untuk tujuan dekoratif, tanpa arti simbolik nyata apapun. Pada tahun 1905 ia masuk Katolik dan mulai memproduksi karya keagamaan. Ia juga menciptakan ilustrasi buku, poster, dan desain kaca berwarna. Ia sempat melintasi periode di mana menggunakan wayang sebagai salah satu referensi simbolisnya. Praktiknya tidak sekadar melukis, ia banyak dikenal lewat karya-karya sastra, ilustrasi buku dan cover. Ihwal yang dilakukan pula oleh Herjaka secara konsisten. 
Seperti pada kali ini, ia hadir kembali dengan momentum gayung bersambut dengan lukisan dan komik terbaru Herjaka yang dilahirkannya sebagai anak ideologisnya. Buku komik berjudul “Buruk Muka Hati Mulia” ini diluncurkan Herjaka dalam 2 seri buku menceritakan tentang tokoh Sukrasana dan Sumantri di Padebokan Argasekar yang sejuk dan subur tanahnya, layaknya Taman Sriwedari di bumi. Penokohan tersebut adalah perwujudan dari yang baik dan buruk dalam segitiga konsentris yaitu cinta kasih, ambisi, dan pengkhianatan. 
Komik tersebut menawarkan bentuk yang segar dalam upaya edukasi pada anak-anak sebagai sasaran generasi penerus yang cemerlang. Penggunaan wayang yang digambarkan dalam ilustrasi manual dan teks yang ringan dengan tetap menautkan nilai-nilai yang sarat kehidupan menjadi paripurna ditangan Herjaka. Di sana dapat dengan segera melihat pertalian yang erat dan panjang, bagaimana wayang diterjemahkan dalam komik, sebagai upaya penanaman karakter dan pengetahuan akar budaya melalui wayang yang kini kerap tergerus dengan pergerakan zaman yang cepat. Melalui komik ini pula Herjaka melakukan praktik dekolonisasi atas hujan peluru yang terus bergulir dalam ranah literatur yang baur, dan memiliki kecenderungan terbarukan dengan budaya yang hybrid. Komik wayang Herjaka menandakan upaya resistansi antara tegangan masa dan gairah artistik yang diterjemahkan menggunakan cerita wayang dengan kehidupan sehari-hari lewat visual wayang yang dipadukan dengan  gaya realis yang lebih modern. 
Herjaka dan Wayang: bagai Ruas dan Aurnya
Herjaka adalah pelukis sejati yang melukis pada kanvas dengan mengolah tema-tema yang serius. Tema-tema seperti religiusitas dan ekologi – sosial budaya menjadi tema yang sensitif, aktual, dan kontekstual, bahkan dapat ditemui di segala zaman. Atensinya terhadap figur dan cerita pewayangan berkembang menjadi intensitas, sehingga dapat dilihat sebagai konsistensi dalam berkarya selama hampir empat dekade. Herjaka memilih wayang sebagai figur utama dalam lukisan-lukisannya terbukti menjadi suatu paham idelisme terhadap konsep manusia Jawa yang ideal. 
Konsistensinya tentu bukan tanpa sebab; seperti ia yang hidup dari lingkungan keluarga yang dekat dengan seni yaitu dari ayahnya yang seorang seniman ketoprak, Ibu seorang pengrawit yang bertempat tinggal di dekat keraton. Kehidupan masa kecil yang dihabiskan dengan belajar menggambar wayang dari ayahnya sejak usia 2 tahun. Profesi illustrator majalah Jayabaya dan Djoko Lodang sejak tahun 1985 membentuk kematangan berkarya. Wayang memiliki nilai-nilai filosofis yang sesuai dengan keyakinannya sebagai seorang Katolik dan Jawa (kebatinan), wayang mampu membicarakan berbagai gagasan seperti; sosial, politik, budaya, ekologi, serta religiusitas dengan peminjaman tokoh, narasi, hingga atribut-atribut wayang. 
Tidak berlebihan pula jika menyebut karya-karya lukis wayang Herjaka memiliki muatan spiritualitas Jawa dan religiusitas Katolik yang saling melebur. Peleburan religiusitas tersebut diperluas dengan kritik terhadap realitas sosial-budaya atas bentuk tawaran idealistik Herjaka tentang kehidupan masyarakat feodal Jawa yang hierarkis. Nilai-nilai humanisme dan selalu terpaut erat dengan yang material dan immaterial juga hadir dalam konsep pemikiran Herjaka, yaitu tentang pemahaman konsep-konsep pitutur luhur budaya Jawa – yang bermuara pada kepercayaan bahwa apa yang dilakukan adalah apa yang akan dituai. Bumi dalam lanskap Herjaka demikian kuat hadir dalam karya-karya lukisan dan buku komiknya. 
Dalam peta seni rupa Yogyakarta misalnya, Herjaka barangkali berada pada satu tempat khusus yang dapat disebut sebagai penganut aliran ‘religius – sosialis’ sebagai konseptualisasi gagasan dan ide penciptaan lukisan. Konseptualisasi ini tidak hanya didasari dari kekuatan teknik dan estetis, tetapi pada sikap, cara, filosofi, ideologi, dan pesan moral yang hendak disampaikan Herjaka. Jika dilihat dari dari sudut padang di luar estetika lukisan, maka Herjaka berada pada ruang tersebut. Ruang ini banyak ditempati oleh para tokoh yang juga menggunakan referensi wayang dan budaya Jawa yang mengandung ideologi moralitas – religius dan sosialis, seperti misalnya Sigit Sukasman, Herman Pratikto hingga GP Sindhunata. Melihat posisi Herjaka, di samping menjadi seorang pelukis, dalam kategori sosiologis dia juga dapat turut memiliki pemikiran dan penghayatan yang dapat disejajarkan dengan para tokoh pelukis dan sastrawan yang menggunakan wayang sebagai filosofi hidup. 
Melalui pameran ini, kita dapat bersama-sama melihat bukan hanya bermacam fenomena bagaimana alam secara kosmologi dan ekologi terengkuh dalam benak Herjaka melalui lukisan, tapi juga praktik berkesenian dari sosok Herjaka yang setia pada pilihan jalan hening dan khitmatnya bersama wayang dan pandangan-pandangan filosofis di dalamnya, sampai seterusnya. 
Pameran ini membuktikan bahwa ada relasi antara teks dan kode visual, sebagaimana dapat mengukur bahwa wayang hadir sebagai simbol yang sangat kuat, total, dan filosofis. Di dalamnya memuat konfirmasi historis, nilai-nilai, juga dapat menjadi studi kedangkalan dan kedalaman, manakala dipandang lewat cara pandang yang lain. Menjembatani jurang antara struktur sosial yang statis dan praktik manusia yang dinamis.

Kebumen, 23 April 2023
Karen Hardini



#ekologi#lingkunganhidup#hutan#komikwayang

No Comments

    Leave a Reply