Tumpeng ini adalah manifestasi dari pengadukan samodra yang dilakukan oleh para dewa, dalam upaya mencari tirta amerta (a = tidak dan merta = mati) atau air hidup abadi. Dikarenakan Tirta Amerta berada didasar samodra, maka untuk mengambilnya laut perlu diaduk, agar Tirta Amerta naik ke permukaan. Yang dipakai mengaduk adalah gunung Mandara atau gunung Meru, digambarkan nasi putih dibentuk kerucut. Cabai merah panjang menggambarkan api yang keluar dari kawah gunung Mandara. Kacang panjang menggambarkan Dewa Naga Basuki yang sedang melilit dan memutar gunung untuk mengaduk samodra. Aneka sayuran, lauk pauk dan bumbu gudangan adalah menggambarkan isi bawah laut yang diaduk dan terangkat ke permukaan. Terasi menggambarkan racun. Telor adalah gambaran tirta amerta.
Ketika proses pengadukan berlangsung, seluruh isi dasar laut bercampur dan terangkat ke permukaan. Bersamaan dengan terangkatnya seluruh isi lautan, terangkat pula kotoran atau racun yang mematikan. Para dewa mengira bahwa cairan kental berwarna kecoklatan tersebut adalah tirta amerta dan ingin segera meminumya. Mengetahui para dewa dalam bahaya, Batara Guru dengan cepat menyambar racun tersebut dengan mulutnya. para dewa selamat dari racun yang mematikan. Namun akibatnya racun yang ditelan masuk membuat leher Batara Guru berwarna nila. Sejak saat itu Batara Guru diberi sebutan Sang Hyang Nilakantha.
Setelah racun diamankan, para dewa melajutkan pengadukan samodera dan pada akhirnya membuahkan hasil yaitu tirta amerta. Para dewa meminumnya dan mereka hidup abadi dan tak akan mati.
Tumpeng Robyong dihadirkan pada upacara Brokohan yaitu ucapan syukur atas kelahiran. Pada upacara ini pararahim (para wanita) diundang untuk datang agar mereka pun bersyukur atas rahim yang telah dianugerahkan. Harapannya semoga dari rahim-rahim mereka lahirlah seorang anak yang sehat cerdas dan berbudiluhur.
Tumpeng Robyong (Javanese Traditional Dish, Made of rice in a conical form, completed with vegetables and other side dishes). Is a symbol of a myth. It was told that long ago, gods were stirring the ocean in order to find tirta amerta (water of eternity). Because tirta amerta only could be found at the bottom of ocean, so to get it they needed to get it to the surface by stirring up the ocean with Mandara volcano. The mountain then symbolized into a conical-shaped white rice. The long red chili in tumpeng was a symbol of fire from Mandara volcano. The long bean symbolized Dewa Basuki dragon who twisted his body around the volcano to stirr the ocean. Vegetables, side dishes, and topping from seasoned scraped coconut flesh (gudangan) symbolized the contents of ocean being stirred up to the surface. The dried shrimp paste (terasi) was a symbol of poison coming out of the ocean, while the boiled egg was a symbol of sacred tirta amerta. After the gods drank tirta amerta, they became immortal.
Usually tumpeng robyong served at brokohan ceremony (ceremony to thank God for a birth of a child). In this ceremony, women are invited to thank God for uterus they had, and to pray that can give birth to good children in the future)
Oil on canvas 120 cm x 80 cm Herjaka HS 2012
No Comments